Tidak ada pekerjaan halal yang layak untuk digoblok-goblokan dan di tertawakan. Sebagai tokoh publik, setiap ucapan yang disampaikan memiliki dampak luas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Baru-baru ini, seorang tokoh agama dalam sebuah acara tabligh akbar melontarkan kata kasar “GOBLOK” kepada seorang penjual es teh.
Bahkan, yang lebih memprihatinkan, ucapan tersebut disertai dengan tawa berbahak-bahak dari rekan-rekannya yang hadir, yang seakan memperlihatkan bahwa penghinaan itu bisa menjadi bahan tertawaan.
Kejadian ini memicu reaksi keras dari masyarakat, khususnya pedagang kecil yang merasa tersinggung dan direndahkan. Statement ini menggugah pertanyaan penting tentang etika dan tanggung jawab sosial tokoh masyarakat dalam menjaga keharmonisan sosial serta memberikan teladan yang baik.
Segelas es teh yang dijual di antara rintih hujan demi menafkahi keluarga, barangkali jauh lebih mulia dibanding doa-doa yang dikirim dalam keangkuhan.
Pedagang kecil seperti penjual es teh adalah simbol ketekunan dan kerja keras. Ketika kata-kata kasar dilontarkan kepada mereka, Tidak hanya melukai hati tetapi juga mencederai nilai penghargaan atas usaha mereka.
Di tengah perjuangan hidup yang berat, dukungan moral adalah hal yang lebih mereka butuhkan, bukan penghinaan yang memperberat beban mereka.
Sebagai pemimpin spiritual dan panutan, seorang tokoh agama memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga tutur kata. Ucapan seorang tokoh publik adalah cerminan nilai dan karakter yang mereka bawa, dan seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa adab selalu berada di atas ilmu. Betapa pun tinggi ilmu seseorang, tanpa adab yang baik, ilmu itu tidak akan mendatangkan manfaat.
Seorang tokoh masyarakat seharusnya menunjukkan rasa hormat dan empati kepada semua kalangan, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat.
Bahasa kasar yang dilontarkan kepada pedagang kecil tidak hanya berdampak pada individu tersebut tetapi juga dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap tokoh yang bersangkutan.
Dalam teori komunikasi publik, pesan yang disampaikan oleh seorang pemimpin memiliki kekuatan untuk membentuk opini dan pandangan masyarakat.
Ketika pesan itu bersifat negatif, dampaknya bisa meluas dan menciptakan ketidakharmonisan sosial. Etika dalam bertutur kata seharusnya menjadi prioritas bagi siapa pun yang berada di panggung publik.
Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa ucapan tersebut hanya candaan yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, candaan yang merendahkan, apalagi di ruang publik, tetaplah tidak dapat dibenarkan.
Bahasa adalah alat komunikasi yang tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membawa nilai-nilai moral.
Ucapan kasar, meski dalam konteks bercanda, mencerminkan keangkuhan dan kurangnya empati. Apalagi, dalam forum keagamaan, seharusnya pesan-pesan yang disampaikan mempererat persaudaraan dan saling menghormati, bukan sebaliknya.
Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi semua tokoh masyarakat untuk lebih memperhatikan etika dalam setiap interaksi publik.
Permintaan maaf secara terbuka kepada pihak yang merasa tersinggung adalah langkah penting untuk memulihkan kepercayaan dan menjaga harmoni sosial.
Sekali lagi Segelas es teh yang dijual di antara rintih hujan demi menafkahi keluarga, barangkali jauh lebih mulia dibanding doa-doa yang dikirim dalam keangkuhan.
Pilihan ada di tangan setiap pemimpin. setiap kesempatan, penting untuk mengingat bahwa adab, lebih dari sekadar ilmu, sehingga warisan
Penulis. Ridwan Lanya
Prodi pendidikan bahasa Indonesia Universitas Madura (UNIRA).